KELU...



Mari kita bicara, lepaskan busana-busana kata, agar persepsiku dan persepsimu dapat saling bertemu. Tapi tidak, kita memang butuh lebih dari ini, dua pasang bola mata dan detak jantung yang berpacu tak tentu. Jantungku saja, jantungmu aku tak pernah tahu bagaimana.
.
.
.
Biar aku yang mulai meski baru disini. Karena tiap menatapmu semua pertahananku belum kuat menahannya, selalu, runtuh, jatuh, lagi. Bagaimana rasanya jadi kamu? Ceritakan padaku semuanya, sejujurnya. Supaya jelas, supaya anganku tak terus liar kepadamu. Karena kurasa, kau lebih senang menetap di kepala, bukan di hati.
Aah, jariku mendadak lemas. Selalu, tentangmu, tak pernah bisa aku tuangkan dengan lugasnya menjadi kata-kata. Bodoh. Mungkin itu aku, bagimu. Tanggal tiga puluh itu, juga tak berarti apa-apa kan, buatmu? Dan kau memang luar biasa, masih bisa berjalan tegap di depanku, membuat aku kian meradang.
.
.
.
Aku kemudian berkelana menuju waktu sebelum kisah kita berlalu, jauh sebelum itu. Dulu aku pernah bicara padanya, seperti seorang yang tengah berdoa dan meminta untuk di-aamiin-kan.“Aku capek jatuh cinta---seneng, seneng, seneng, eh terus sedih---bisa nggak ya, aku dijatuh-cintakan aja sama orang yang bakal jadi jodoh aku, gitu?”, kataku.
And you know what, I never felt how millions of butterflies were in my stomach...setelah aku bicara padanya, sebelum bertemu denganmu. Tapi tidak, kalaupun itu kau, aku tak berharap lagi kini. Dalam perjalanan ikhlasku, ada sebuah doa. Semoga kau bahagia dan terwujud semua cita yang pernah melewati telinga. Ternyata, bukan bersamaku.







 

SI PUNDAK TAK TERHINGGA..



***
Ada suatu kerinduan yang mulai menyeruak dalam batinnya, ketika tanpa sadar ada yang telah hilang sepekan lebih dari tempat peraduannya. Ya...mentari itu memang sudah lama tak menampakkan batang hidungnya. Mengalah pada si mendung untuk menguasai bumi hingga pada akhirnya tiba giliran bulan untuk tampil memesona dalam gemerlap malam.
Itulah kisahnya, kisah bumi yang kerap dihiasi oleh cerahnya sinar mentari atau romantisme cahaya rembulan. Ia butuh keduanya, seisi bumi menginginkannya. Namun tidak bagi mentari dan rembulan, mereka sama-sama bersikukuh mengklaim salah satu mereka lebih dominan. Bumi dibuat gamang namun tetap enggan mempertegas, kini isinya acakadut tak karuan dibuat porak poranda akibat ulah mentari dan bulan.
***
Dua paragraf yang sudah lama singgah dalam notes-ku, yang aku sendiri lupa kapan menulisnya. Iya, kini aku ‘sok’ sibuk seolah berusaha berlari mengejar seberkas sinar yang menghalangi pandangku. Tapi nyatanya aku takkan pernah sampai. Ketika sinar itu kian dekat, maka ia kian meredup, membuatku beranggapan “Ah! Semuanya sudah selesai!”. Hingga kemudian aku berjalan santai dan jarakku dengan sinar kembali merenggang, dan lagi-lagi, sinar itu masih memancar, kian pekat.
Kau masih tak mengerti maksudku? Tak apa. Aku tak menuntut kau untuk mengerti, hanya sekedar kau baca saja aku sudah bersyukur, andai memang kau benar-benar melihatnya. Setidaknya kau kini tahu, aku sedang tidak baik-baik saja. Kalau kata sabar kelak akan mencapai garis finish, maka sabarku adalah yang paling pertama melewatinya. Sungguh aku butuh lebih dari itu. Bukan sekedar bualan yang tak berujung, atau sekedar eksistensi yang hanya menggebu di awal namun kemudian melipir perlahan. Dan bodohnya, angan itu selalu menujumu. Selalu.

HUJAN DISINI TAKKAN USAI

Hujan itu kini kembali turun, deras, membasahi seisi bumi. Kau tahu? Akar pohonku kini sudah rapuh, tak mampu lagi menahan tanah yang terdorong sang air hingga akhirnya memporak-porandakan bumiku. Hujan yang kau bawa memang mendatangkan berkah, namun kau buat menjadi sebuah hiperbola hingga kini menjadi bencana. Air yang menenangkan itu kini menjadi sebuah phobia tersendiri bagi sang akar, membuatnya ragu bahwa sebenarnya dia adalah si tunggang yang tangguh, bukan serabut yang rapuh. Bumiku goyah seakan putus langkah, namun tetap setia pada peredarannya mengitari si pusat tata surya sembari berotasi membuat keragaman siang dan malam di dua belahan bumi yang saling bertolak belakang. Duhai aku tak habis fikir, akarku sudah terlalu dalam tertancap kokoh pada si pusat bumi, namun tetap rapuh dimakan waktu. Ternyata itu saja tidak cukup, sayang. Bumiku lebih membutuhkannya, air, yang membuat akarku menciut mati perlahan. Jika harus kubuat sebuah analogi, mungkin akarku hanya si produsen dalam akbarnya rantai makanan, membangun dengan susah payah agar engkau tetap bertahan. Dan kau dengan airmu, bersinergi semakin kuat dibalik proses pelapukan akarku. Kau mungkin tak paham maksudku, toh juga bukan salahmu yang tak peka, tak seperti si putri malu yang tersentuh. Atau aku yang terlalu semu? Membiarkan bias kelabu itu kian pekat hingga miopi pada matamu mengharuskan kau menambah tebal lensa cekungmu. Wahai bumiku, akar ini lelah, menahan dorongan air yang tiada habisnya. Air yang membuatmu tetap hidup dan akan terus hidup untuknya. Tetapi wahai airku, sungguh bumimu juga butuh akarku, yang akan membuatnya menjadi bumi yang benar-benar bumi, yang menopang erat apa yang ada didalam pusatnya. Bumiku memang tak adil, berlaga tak acuh seolah ia memang tempat peraduan terakhir. Airmu juga tak tahu diri, membiarkan akar terperosok kian jauh dari hara yang dia inginkan. Duhai akar, mengapa kau begitu tolol, menutup mata untuk hal yang sudah benar-benar jelas terjadi di depan matamu. Mencarikan jalan bagi sang air menjangkau bumi, untuk menjauhimu. Atau jangan-jangan, kau yang merengkuh bumi terlalu erat, memaksanya untuk percaya akan kenyataan yang tak bisa terbantahkan, sekalipun kau harus dicaci oleh seisi bumi—kau tak peduli. Ah...akarku sedang liar dalam fantasinya, bersikeras menganggap dirinya kaktus, yang dengan angkuhnya menjerit bahwa dia dapat hidup tanpa air. Tapi tunggu, kau sungguh masih bagian dari bumi, kan? Sungguh si akar kini meradang diterjang berbagai pertanyaan retorik yang tiada berujung, yang membuatnya harus terus kembali menuju bumi, bertemu air. Dan kau tahu, hujan itu kini kian deras. Sungguh, tak ada satupun indikator hujan ini akan berakhir, atau hanya sekedar mereda. Aku pasrah.

Elang dan Merak



Aku tak tahu pasti bagaimana derasnya aliran lahar dingin ketika sang gunung baru saja erupsi, memuntahkan seluruh isi perutnya. Tapi bagiku rasa ini lebih deras. Setelah sekian lama sang sungai kering, aliran itu datang tiba-tiba dan membanjiri relung sang sungai. Love at first sight? Aah, aku rasa bukan. Namun pertemuan kedua setelah pertemuan satu malam dalam sebuah perjalanan itu sungguh melambungkan perasaanku. Dan diikuti dengan pertemuan-pertemuan yang kini tak terhitung lagi sudah sampai mana, rasa ini ku biarkan ada. Tumbuh semakin besar, liar tak bertuan namun kian rapuh. Eksistensi kehadiranmu memang layaknya katalis yang membuat benih ini tumbuh dengan cepat, namun aku terlalu menggebu hingga pada akhirnya kini ia enggan berkembang lagi. Tidak, bukan karena pertemuan yang sebegitu seringnya yang membuat si luar biasa menjadi terlihat biasa, sama sekali bukan. Ini tentang kenyataan yang perlahan terkuak dibalik setiap tatapan matamu, yang ternyata membuat lukaku kian menganga. Tadinya aku hanya ingin tahu satu hal, yakni  kenyataan bahwa benihku hanya akan mampu berkembang bersamamu, cukup satu hal itu saja. Namun kau bukakan pintu itu terlalu lebar, kau biarkan aku bergulat dengan kenyataan yang lambat laun akan mematikan benihku. Kau memang orangnya, yang sejak dulu hingga kini mampu membuat aliran deras dalam darahku tak henti-hentinya mengalir. Namun kau juga orangnya, yang kemudian membuat aliran itu kemudian terbendung tak mengalir, melalui eksistensinya yang kau pilih untuk menyertaimu.

Itu untukmu—sang elang—yang dengan tangguhnya mampu membuat aku terbuai hingga aku lupa bagaimana indahnya sang merak. Ya, merak yang telah pergi begitu lama namun indahnya tak akan pernah lekang, entah sampai kapan. Yang bersama dengannya, aku senantiasa merasakan hangatnya pelukan, juga ketenangan dari matanya yang seakan berbicara bahwa semuanya akan baik-baik saja. Duhai merak, lima tahun apa tidak cukup untuk membuat kau kembali ke peraduan? Apa ini memang cinta, atau hanya sebuah kepasrahan ditengah kegamangan mencari kepastian? Sungguh aku lebih kuat menahan rindu yang tak berujung ini, dibandingkan harus menatap matamu, yang kini hanya berupa tatapan kosong. Tak ada lagi ruang bicara yang membuatku selalu betah berlama-lama untuk sekedar melamun, seolah berkaca tentang kebahagiaan yang akan kita lewati bersama kelak.


...I could stay awake just to hear you breathing, watch you smile while you are sleeping, far away and dreaming, I could spend my life in this sweet surrender, I could stay lost in this moment forever, well, every moment spent with you, is a moment I treasure....

What Do You Think About This?!



TEKNOLOGI INFORMASI. Apa yang terfikirkan oleh kalian ketika mendengar kata itu? Bagi saya, sih, itu tergolong pelajaran yang tidak begitu saya sukai. Sejak duduk di bangku SMP sampai SMK, tidak ada bagian di pelajaran ini yang mampu menarik minat saya untuk mengeksplore lebih jauh lagi tentang pelajaran-pelajaran yang telah disampaikan sang guru. Loh, kok bisa begitu? Ya, karena pelajarannya monoton, hanya itu-itu saja, tentang perangkat-perangkat dalam komputer dan pengoperasian sistem operasi seperti Word, Excel, Power Point, dan Access. Sekalipun belajar tentang internet, kita terlebih dahulu ‘dicekok’ oleh teori-teori perkembangan akan internet itu sendiri ketimbang langsung praktek tentang pengoperasian internet, sehingga hal ini sukses menjadi layaknya sebuah cerita dongeng sebelum tidur.

Jadi terbayang nggak sih, betapa menjenuhkannya pelajaran itu? Setiap minggu kita hanya masuk ke dalam lab komputer, duduk mendengarkan guru menjelaskan, dan praktek yang waktunya terbatas. Pasti bakal garing kan, kalau belajar harus text-book seperti itu terus-menerus. Akhirnya ya, murid yang suka mencuri-curi celah. Ketika guru sedang menjelaskan, kita malah asyik online socmed di komputer masing-masing, walaupun akhirnya kesel juga karena akses wifi-nya diputus oleh sang guru, hehehe.

Yap! But that just the past. Itu pendapat saya dulu, sebelum saya belajar mata kuliah Teknologi Informasi di universitas. Lah, terus bagaimana?

Iya, jadi gini. Saat saya resmi menjadi mahasiswa UNJANI, saya sempat kaget melihat jadwal mata kuliah semester 1 yang didalamnya ada mata kuliah Teknologi Informasi. Pikir saya, untuk apa ada mata kuliah ini, masa iya kita akan mengulang pelajaran sejak masih SMP lagi? Ah! Pasti akan sangat membosankan, terka saya saat itu dalam hati. 

Tapi ternyata semua persepsi saya tentang kejenuhan-kejenuhan yang akan saya hadapi di mata kuliah ini terbantahkan setelah bertemu sang dosen. Beliau memang tidak khusus mengajar hanya untuk mata kuliah Teknologi Informasi saja tapi saya suka caranya menyampaikan pelajaran, singkat, jelas, namun tepat kena sasaran. Maksudnya bagaimana, tuh? Hehehe.


Jadi si dosen tidak lagi menjelaskan teori-teori yang membosankan, tapi langsung menuju pada aplikasi perangkat informasi yang memang digunakan oleh banyak orang, dengan mengoptimalkan fungsinya. Teori tetap ada, namun tidak seperti murid sekolah dasar yang membahas banyak teori bersama gurunya ketika bertatap muka. Sang dosen biasanya meng-upload materi dalam bentuk presentasi (power point) ke dalam facebook, dan hanya membahas garis besarnya saja ketika mata kuliah sedang berlangsung. Jika ada bagian yang tidak dimengerti? Kita dapat langsung bertanya melalui forum diskusi yang dibuat dalam bentuk grup di jejaring sosial Facebook. Jadi, kita tetap dapat bergaul sambil belajar. Juga adanya pemanfaatan blog sebagai media informasi sekaligus sebagai media bisnis untuk ajang promosi. Beliau juga memberikan aplikasi yang berhubungan dengan jurusan yang saya ambil, yaitu kimia, yang dengan aplikasi tersebut dapat mempermudah saya untuk membentuk rumus struktur suatu zat kimia, dan masih banyak lagi.

jadi menurut saya sekarang, sih, Teknologi Informasi ini ternyata memang penting banget buat kita. Sadar kan, kalau kehidupan kita sehari-hari ngga akan lepas dari yang namanya internet? Sekarang rasanya masalah teknologi dan informasi ini sudah jadi kebutuhan primer buat masyarakat. Satu hari tanpa internet saja, rasanya sudah ketinggalan banyak informasi. Isn't it? Hehe.


Yeay! That’s all my opinion. Dan satu lagi, untuk cinta sama suatu pelajaran, si pengajar seharusnya punya power untuk mampu mengubah mindset siswanya biar muncul rasa ingin tahu. Terlebih mata pelajaran Teknologi Informasi, dengan keadaan zaman yang terus berkembang dengan adanya globalisasi, pengajar juga harus melek informasi, tetap uptodate dengan perkembangan teknologi dan informasi yang ada. And you did it all, Mr. J. Well-done! :)