Mari kita bicara, lepaskan
busana-busana kata, agar persepsiku dan persepsimu dapat saling bertemu. Tapi tidak,
kita memang butuh lebih dari ini, dua pasang bola mata dan detak jantung yang
berpacu tak tentu. Jantungku saja, jantungmu aku tak pernah tahu bagaimana.
.
.
.
Biar aku yang mulai meski baru
disini. Karena tiap menatapmu semua pertahananku belum kuat menahannya, selalu,
runtuh, jatuh, lagi. Bagaimana rasanya jadi kamu? Ceritakan padaku semuanya,
sejujurnya. Supaya jelas, supaya anganku tak terus liar kepadamu. Karena kurasa,
kau lebih senang menetap di kepala, bukan di hati.
Aah, jariku mendadak lemas. Selalu,
tentangmu, tak pernah bisa aku tuangkan dengan lugasnya menjadi kata-kata. Bodoh.
Mungkin itu aku, bagimu. Tanggal tiga puluh itu, juga tak berarti apa-apa kan,
buatmu? Dan kau memang luar biasa, masih bisa berjalan tegap di depanku,
membuat aku kian meradang.
.
.
.
Aku kemudian berkelana menuju
waktu sebelum kisah kita berlalu, jauh sebelum itu. Dulu aku pernah bicara
padanya, seperti seorang yang tengah berdoa dan meminta untuk di-aamiin-kan.“Aku capek jatuh cinta---seneng, seneng,
seneng, eh terus sedih---bisa nggak ya, aku dijatuh-cintakan aja sama orang
yang bakal jadi jodoh aku, gitu?”, kataku.
And you know what, I never felt
how millions of butterflies were in my stomach...setelah aku bicara padanya,
sebelum bertemu denganmu. Tapi tidak, kalaupun itu kau, aku tak berharap lagi
kini. Dalam perjalanan ikhlasku, ada sebuah doa. Semoga kau bahagia dan
terwujud semua cita yang pernah melewati telinga. Ternyata, bukan bersamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar