Hujan itu kini kembali turun, deras, membasahi
seisi bumi. Kau tahu? Akar pohonku kini sudah rapuh, tak mampu lagi menahan
tanah yang terdorong sang air hingga akhirnya memporak-porandakan bumiku. Hujan
yang kau bawa memang mendatangkan berkah, namun kau buat menjadi sebuah
hiperbola hingga kini menjadi bencana. Air yang menenangkan itu kini menjadi
sebuah phobia tersendiri bagi sang akar,
membuatnya ragu bahwa sebenarnya dia adalah si tunggang yang tangguh, bukan
serabut yang rapuh. Bumiku goyah seakan putus langkah, namun tetap setia pada
peredarannya mengitari si pusat tata surya sembari berotasi membuat keragaman
siang dan malam di dua belahan bumi yang saling bertolak belakang. Duhai aku
tak habis fikir, akarku sudah terlalu dalam tertancap kokoh pada si pusat bumi,
namun tetap rapuh dimakan waktu. Ternyata itu saja tidak cukup, sayang. Bumiku
lebih membutuhkannya, air, yang membuat akarku menciut mati perlahan. Jika
harus kubuat sebuah analogi, mungkin akarku hanya si produsen dalam akbarnya
rantai makanan, membangun dengan susah payah agar engkau tetap bertahan. Dan
kau dengan airmu, bersinergi semakin kuat dibalik proses pelapukan akarku. Kau
mungkin tak paham maksudku, toh juga bukan salahmu yang tak peka, tak seperti
si putri malu yang tersentuh. Atau aku yang terlalu semu? Membiarkan bias
kelabu itu kian pekat hingga miopi pada matamu mengharuskan kau menambah tebal
lensa cekungmu. Wahai bumiku, akar ini lelah, menahan dorongan air yang tiada
habisnya. Air yang membuatmu tetap hidup dan akan terus hidup untuknya. Tetapi
wahai airku, sungguh bumimu juga butuh akarku, yang akan membuatnya menjadi
bumi yang benar-benar bumi, yang menopang erat apa yang ada didalam pusatnya. Bumiku
memang tak adil, berlaga tak acuh seolah ia memang tempat peraduan terakhir.
Airmu juga tak tahu diri, membiarkan akar terperosok kian jauh dari hara yang
dia inginkan. Duhai akar, mengapa kau begitu tolol, menutup mata untuk hal yang
sudah benar-benar jelas terjadi di depan matamu. Mencarikan jalan bagi sang air
menjangkau bumi, untuk menjauhimu. Atau jangan-jangan, kau yang merengkuh bumi
terlalu erat, memaksanya untuk percaya akan kenyataan yang tak bisa
terbantahkan, sekalipun kau harus dicaci oleh seisi bumi—kau tak peduli. Ah...akarku
sedang liar dalam fantasinya, bersikeras menganggap dirinya kaktus, yang dengan
angkuhnya menjerit bahwa dia dapat hidup tanpa air. Tapi tunggu, kau sungguh
masih bagian dari bumi, kan? Sungguh si akar kini meradang diterjang berbagai
pertanyaan retorik yang tiada berujung, yang membuatnya harus terus kembali
menuju bumi, bertemu air. Dan kau tahu, hujan itu kini kian deras. Sungguh, tak
ada satupun indikator hujan ini akan berakhir, atau hanya sekedar mereda. Aku
pasrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar